Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dalam setiap melangkah tak pernah lepas dari falsafah Jawa. Falasafah yang satu ini saling berkaitan, namun terdiri dari empat kalimat.

"Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, dan Menang tanpa ngasorake."
Menurut budayawan Kraton Surakarta KP Winarnokusumo, keempat kalimat
tersebut sangat melekat pada diri Jokowi. Tiap-tiap kalimat mengandung
makna yang baik bagi kehidupan manusia, siapapun itu.
Falsafah itu pula yang mengantarkan sosok Jokowi hingga seperti sekarang ini. Seperti apa falsafah tersebut?
1. Sugih tanpa bandha
Yang pertama kalimat pertama "sugih tanpa bandha". "Sugih itu mempunyai
arti kaya, sedangkan "bandha" itu berarti harta. Jika dirangkai makan
menjadi kaya tanpa harta, itulah arti harfiah kalimat ini.
Jokowi dikenal masyarakat sebagai sosok yang sederhana. Padahal saat
mendaftar sebagai calon Gubernur hartanya tercatat lebih dari Rp 18
miliar lebih. Dalam budaya Jawa masyarakat tidak diajarkan untuk
menyombongkan diri atau memperlihatkan harta kekayaannya.
Bagi orang jawa harta itu bersifat duniawi saja atau mudah lenyap. Harta
hanyalah titipan dari yang maha kuasa. Jadi belum tentu akan abadi,
bahkan bisa musnah kapan saja. Demikian juga jika suatu saat harta itu
hilang makan kita tidak akan kecewa atau merasa kehilangan.
Menurut budayawan Kraton Surakarta KP Winarno, selama ini Jokowi tidak
pernah membanggakan kekayaannya. Karena Jokowi sadar bahwa hartanya
hanya titipan saja. Jokowi lebih memilih kaya hati daripada kaya
duniawi. Keluhuran hati yang dimiliki Jokowi perlu dicontoh oleh para
pejabat di negeri ini.
2. Digdaya tanpa aji
Digdaya mempunyai arti sakti, aji berarti dimaknai azimat. Jika digabungkan adalah sakti tanpa azimat.
Menurut KP Winarnokusumo, kalimat ini mempunyai makna sebuah nasihat
untuk semua manusia. Bahwa kesaktian, kekuatan apapun hanya milik Allah
SWT. Manusia tidak boleh mengandalkan kekuatannya sendiri, sesakti
apapun dia, semua akan kembali dan hanya milik yang Maha Kuasa.
Falsafah tersebut juga melekat pada diri Jokowi, sifat yang tegas dan
tidak takut pada siapapun. Yang benar akan dikatakan benar, begitu juga
sebaliknya jika salah maka akan dikatakan salah.
"Pernah saya mendengar ucapan Jokowi ketika akan membuat tulisan dengan
aksara jawa, untuk penamaan jalan dan beberapa perkantoran di Solo.
Jokowi mempertahankan pendapatnya, untuk tetap menaruh huruf jawa di
atas, dan huruf latin di bawah, sekalipun harus dipecat dari jabatannya
sebagai walikota" ucap budayawan Kraton Surakarta KP Winarno.
Sikap tegas Jokowi tersebut membuat banyak orang segan. Bahkan dia tidak
bisa disetir oleh siapapun. Sewaktu menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur
DKI Jokowi enggan untuk diatur atur, sekalipun oleh partai yang
mengusungnya. Bagi Jokowi, dia sekarang adalah pejabat publik, yang
notabene adalah milik semua rakyat yang dipimpinnya, dan bukan milik
golongan lagi.
3. Nglurug tanpa bala
Kalimat ini terdiri dari kata "nglurug, yang berarti menyerang, tanpa
bala artinya tanpa membawa pasukan. Bagi orang Jawa kata-kata tersebut
merupakan falsafah atau ajaran yang sangat akurat untuk dilaksanakan.
Dalam falsafah Jawa, ngluruk tanpa bala mempunyai makna bahwa untuk
mencapai sesuatu tidak harus dengan kekuatan yang luar biasa atau dengan
kelengkapan fasilitas yang serba cukup.
Menurut KP Winarso, Jokowi menerapkan falsafah tersebut, berbuat sesuatu
dengan penuh kehati-hatian, kebijaksanaan serta tidak gegabah. Jokowi
lebih mengedepankan pendekatan kepada orang lain dari hati ke hati.
Dengan pendekatan tersebut orang lain merasa diuwongke (dianggap) atau
dihormati pendapatnya.
Dengan model pendekatan tersebut rupanya banyak orang yang semula tidak
senang kepada Jokowi menjadi bersimpati. Yang semula memusuhi, dengan
model pendekatan seperti yang dilakukan Jokowi, orang akan cenderung
berbalik mendukungnya.
Sifat yang dimiliki Jokowi tersebut terbukti ampuh saat dirinya
mengikuti pilkada DKI Jakarta. Di saat orang-orang mencibir dengan apa
yang dia lakukan, mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta, ternyata
Jokowi yang hanya orang biasa dan tak diperhitungkan, karena minim
dukungan partai, bisa memberikan kejutan dengan menjadi pemenang pada
Pilgub DKI.
4. Menang tanpa ngasorake
Kalimat ini bermakna mencapai kemenangan tanpa harus merendahkan orang lain.
Peribahasa ini merupakan ajaran dari R.M. Pandji Sosrokartono (1877-1952) kakak kandung dari pahlawan nasional R.A. Kartini.
Menurut KP Winarno, Jokowi dulu dimana pun mendapatkan cacian, serangan
namun tidak pernah merasakan sakit hati. Dia mencontohkan saat Jokowi
berbeda pendapat dengan Gubernur Jawa Tengah, meski dicibir, dimarahi
dan dikatakan "bodoh" namun Jokowi tak pernah merasa dendam. Terakhir
saat pelantikan Walikota Solo, Jokowi yang merasa yunior rela mencium
tangan Bibit Waluyo, meskipun reputasinya lebih baik.
Tak pernah merendahkan orang lain, ini dibuktikan Jokowi dengan mau
mengunjungi kampung - kampung kumuh, berbagi dan mendengarkan keluhan
mereka. Dengan cara tersebut siapapun akan tunduk dan mengikutinya,
tanpa harus diminta sekalipun.
Menurut KP Winarna, inti dari ajaran-ajaran ini hampir semua melekat
pada diri Jokowi. Sehingga Jokowi tak hanya sukses di Solo, bahkan
sukses memenangkan pilkada dan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
About 

0 comments: